WUJUD GANTI RUGI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Merry Tjoanda, Wujud Ganti Rugi 
Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober – Desember 2010
I. ABSTRAK
Perjanjian adalah suatu
 hubungan hukum antara dua orang atau lebih, yang menimbulkan hak dan 
kewajiban. Dalam hal debitur atau hutang yang tidak memenuhi kewajiban 
sebagaimana mestinya dan tidak terpenuhi bahwa kewajiban karena ada 
unsur dia(peminjam/orang ketiga), maka pemberi pinjaman memiliki hak 
untuk menuntut restitusi, ini adalah apa tulisan ini melatarbelakangi 
bagaimana masalah dengan bentuk kompensasi sesuai dengan Kitab 
Undang-Undang Hukum Perdata? Hasil yang diperoleh bahwa kompensasi 
sebagai akibat dari standar yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang 
Hukum Perdata, juga berlaku untuk kompensasi sebagai akibat dari 
perbuatan melawan hukum. Mengingat bentuk kerugian material dan 
imateriil, maka bentuk kompensasi dapat berupa natura (uang) atau 
innatura.
II. LATAR BELAKANG
Perikatan adalah suatu 
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan pihak 
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak 
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.Pihak yang berhak 
menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak 
yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.
Pasal 1234 KUHPerdata :
“ Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” 
Dalam hal debitur atau 
si berutang tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya
 sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada 
unsur salah padanya, maka ada akibat-akibat hukum yang bisa menimpa 
dirinya, yaitu :
- Pertama-tama, sebagai yang disebutkan dalam pasal 1236 KUHPerdata :
“ si berutang 
adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si 
berpiutang, apabia ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu 
untuk menyerahkan kebendannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna 
menyelamatkannya”dan 1243 KUHPerdata :
“ Penggantian 
biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah 
mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
 perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus 
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam 
tenggang waktu yang telah dilampaukannya” 
Kreditur berhak untuk 
menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan 
bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan 
untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun tidak 
melakukan sesuatu.
- Kedua, pasal 1237 KUHPerdata mengatakan:
“ dalam hal adanya 
perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu 
semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. 
maka sejak debitur lalai, maka resiko atas obyek perikatan menjadi tanggungan debitur.
- Yang ketiga adalah, bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata :
“ syarat batal 
dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal
 balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya” 
maka kreditur berhak 
untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan 
tuntutan ganti rugi. Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi hak dari 
kreditur untuk tetap menuntut pemenuhan.
Apabila salah satu 
pihak dalam perikatan merasa dirugikan oleh pihak lainnya dalam 
perikatan tersebut, maka hukum memberikan wahana bagi pihak yang merasa 
dirugikan tersebut untuk melakukan gugatan ganti rugi. Hal inilah yang 
melatar belakangi penulis untuk melakukan penulisan dengan permasalahan 
bagaimana wujud ganti rugi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
III. PEMBAHASAN
1.  Pengertian Kerugian 
Pengertian kerugian menurut R. Setiawan,
 adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya 
kerugian ditentukan dengan mem-bandingkan keadaan kekayaan setelah 
wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi. 
Pengertian kerugian dikemukakan oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel”
 yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini ditentukan 
oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.
Lebih lanjut dibahas oleh Harahap,
 kalau begitu dapat kita ambil suatu rumusan, besarnya jumlah ganti rugi
 kira-kira sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai 
prestasi yang menjadi obyek perjanjian dibanding dengan keadaan yang 
menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat 
besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita 
kreditur yang menyebabkan timbulnya kekurangan nilai keutungan yang akan
 diperolehnya.
Lebih lanjut dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad,
 bahwa pasal 1243 KUHPerdata sampai dengan pasal 1248 KUHPerdata 
merupakan pembatasan-pembatasan yang sifatnya sebagai perlindungan 
undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak 
kreditur sebagai akibat wanprestasi.
Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih,
 pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu,
 yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang 
melanggar norma oleh pihak yang lain. Yang dimaksud dengan pelanggaran 
norma oleh Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan 
melawan hukum.
Bila kita tinjau secara
 mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu 
pada suatu perbandingan antara dua keadaan.
Pengertian kerugian 
dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya (bagaiaman dalam 
kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma) 
dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi bagaimana andaikata 
pelanggaran norma tersebut tidak terjadi).
Sehingga dapat ditarik 
suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi berkurangnya harta 
kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik 
melalui perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran
 norma oleh pihak lain.
2. Unsur-Unsur Ganti Rugi 
Dalam pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan :
“ biaya, rugi dan 
bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, 
terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang
 sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi 
pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di
 bawah ini.” 
Menurut Abdulkadir Muhammad, dari pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut :
- Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya meterai, biaya iklan.
- Kerugian karena kerusakan, kehilangan ata barng kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.
- Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keutungan yang diharapkannya. Misalnya A akan menerima beras sekian ton dengna harga pembelian Rp. 250,00 per kg. Sebelum beras diterima, kemudian A menawarkan lagi kepada C dengan harga Rp. 275,00 per kg. Setelah perjanjian dibuat, ternyata beras yang diharapkan diterima pada waktunya tidak dikirim oleh penjualnya. Di sini A kehilangan keutungan yang diharapkan Rp. 25,00 per kg.
Purwahid Patrik lebih memperinci lagi unsur-unsur kerugian. Menurut Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur :
- Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi
- Keutungan yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi bunga.7
3. Sebab-Sebab Kerugian 
Dari pengertian 
kerugian pada sub bab sebelumnya dapat kita lihat bahwa kerugian adalah 
suatu pengertian kausal, yakni berkurangnya harta kekayaan (perubahan 
keadaan berkurangnya harta kekayaan), dan diasumsikan adanya suatu 
peristiwa yang menimbulkan perubahan tersebut. Syarat untuk menggeserkan
 kerugian itu kepada pihak lain oleh pihak yang dirugikan adalah bahwa 
kerugian tersebut disebabkan oleh pelanggaran suatu norma oleh pihak 
lain tersebut.
a. Hubungan Sine Qua Non (Von Buri) 
Syarat pertama untuk 
membebankan kerugian pada orang lain adalah bahwa telah terjadi 
pelanggaran norma yang dapat dianggap sebagai condicio sine qua non kerugian tersebut.
Menurut teori ini suatu
 akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan 
untuk adanya akibat tersebut. Berbagai peristiwa tersebut merupakan 
suatu kesatuan yang disebut “sebab”.
Nieuwenhuis memberikan contoh menarik untuk ini :
C menyewakan sejumlah 
kamar kepada beberapa orang, termasuk A dan B. Kamar-kamar tersebut 
terletak di atas ruang konfeksi milik C. Menurut kontrak sewa, para 
penyewa dilarang menggunakan alat masak listrik. Dalam urutan kronologis
 terjadi yang berikut ini:
a. A menghubungkan alat listrik pemasak air dengan jaringan listrik.
b. B menggunakan alat listrik pemanas air dalam kamar mandi, yang menyerap tenaga listrik yang sama.
c. Aliran listrik terhenti dan mesin-mesin jahit listrik di ruang konfeksi C terhenti.
Apa yang menjadi 
“penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit listrik tersebut? Mesin-mesin 
itu tidak akan berhenti andaikata A tidak menggunakan alat listrik 
pemanas air, Jadi tingkah laku A berpengaruh terhadap berhentinya 
mesin-mesin jahit tersebut. Peristiwa a merupakan syarat untuk timbulnya
 peristiwa c. Dalam artinya bahwa tanpa a, c tidak akan terjadi (condicio sine qua non).
Kalau “penyebab” 
dirumuskan sebagai tiap peristiwa, yang tanpa peristiwa tersebut 
peristiwa lain tidak akan terjadi, maka b juga merupakan “penyebab” 
berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Anadaikata B tidak menggunakan 
alat pemanas air di kamar mandi, maka tidak akan ada kelebihan beban 
listrik dan mesin-mesin jahit itu tidak akan berhenti. Jadi Kalau 
“penyebab” dirumuskan sebagai tiap peristiwa, yang tanpa peristiwa 
tersebut peristiwa lain tidak akan terjadi, maka b juga merupakan 
“penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Anadaikata B tidak 
menggunakan
b. Hubungan Adequat (Von Kries) 
Kerugian adalah akibat adequat pelanggaran
 norma apabila pelanggaran norma demikian meningkatkan kemungkinan untuk
 timbulnya kerugian demikian. Inilah inti ajaran penyebab yang adequat.
Teori ini berpendapat 
bahwa suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya 
sanggup untuk menimbulkan akibat. Selanjutnya Hoge Raad memberikan 
perumusan, bahwa suatu perbuatan merupakan sebab jika menurut pengalaman
 dapat diharapkan / diduga akan terjadinya akibat yang bersangkutan. 
Ajaran ini mencampur adukkan antara causalitet dan pertanggunganjawaban.
Hoge Raad menganut ajaran adequate. Hal ini ternyata dari arrest-nya
 tanggal 18 November 1927, dimana dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan 
akibat yang langsung dan seketika adalah akibat yang menurut 
aturan-aturan pengalaman dapat diharapkan terjadi.
4. Wujud Ganti Rugi 
Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Hoge Raad malahan
 berpendapat, bahwa penggantian “ongkos, kerugian, dan bunga” harus 
dituangkan dalam sejumlah uang tertentu. Namun jangan menjadi rancu; 
kreditur bisa saja menerima penggantian in natura dan 
membebaskan debitur. Yang tidak dapat adalah bahwa debitur menuntut 
kreditur agar menerima ganti rugi dalam wujud lain daripada sejumlah 
uang.
Pendapat seperti itu dengan tegas dikemukakan, ketika Hoge Raad menghadapi
 masalah tuntutan ganti rugi dari seorang yang minta kepada toko 
perhiasan, agar perhiasan yang ia beli daripadanya diperbaiki, tetapi 
perbaikan itu ternyata malah menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih 
parah lagi.
Pitlo berpendapat
 bahwa undang-undang kita tidak memberikan dasar yang cukup kuat untuk 
kita katakan, bahwa tuntutan ganti rugi hanya dapat dikemukakan dalam 
sejumlah uang tertentu. Alasan pokoknya sebenarnya adalah bahwa 
berpegang pada prinsip seperti itu banyak kesulitan-kesulitan dapat 
dihindarkan. Anehnya, kalau ganti rugi itu berkaitan dengan onrechtmatige daad, maka syarat “dalam wujud sejumlah uang” tidak berlaku, karena Hoge Raad dalam kasus seperti itu membenarkan tuntutan ganti rugi dalam wujud lain.
Walaupun demikian hal 
itu tidak berarti, bahwa untuk setiap tuntutan ganti rugi kreditur harus
 membuktikan adanya kepentingan yang mempunyai nilai uang. Hal itu akan 
tampak sekali pada perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, dimana 
pelanggarannya biasanya menimbulkan kerugian yang sebenarnya tidak dapat
 dinilai dengan uang.
5. Bentuk-Bentuk Kerugian 
Bentuk-bentuk kerugian dapat kita bedakan atas dua bentuk yakni :
- Kerugian materiil
- Kerugian immateriil
Undang-undang hanya 
mengatur penggantian kerugian yang bersifat materiil. Kemungkinan 
terjadi bahwa kerugian itu menimbulkan kerugian yang immateriil, tidak 
berwujud, moril, idiil, tidak dapat dinilai dengan uang, tidak ekonomis,
 yaitu berupa sakitnya badan, penderitaan batin, rasa takut, dan 
sebagainya.
Sulit rasanya 
menggambarkan hakekat dan takaran obyektif dan konkrit sesuatu kerugian 
immateriil. Misalnya: bagaimana mengganti kerugian penderitaan jiwa. Si A
 berjanji kepada si B untuk menjual cincin berlian sekian karat. 
Ternyata berlian itu palsu yang mengakibatkan kegoncangan dan 
penderitaan batin bagi si B. Bagaimana memperhitungkan kerugian 
penderitaan batin dimaksud? Sekalipun memang benar menentukan hakekat 
dan besarnya kerugian non-ekonomis, ganti rugi terhadap hal ini pun 
dapat dituntut. Penggantiannya dialihkan kepada suatu perhitungan yang 
berupa “pemulihan”. Biaya pemulihan inilah yang diperhitungkan sebagai 
ganti rugi yang dapat dikabulkan oleh hakim.
Seperti dalam contoh di
 atas, tentu tidak dapat diganti kegoncangan jiwa yang diderita oleh si 
pembeli tersebut. Tetapi debitur dapat “dibebankan” sejumlah biaya 
pengobatan rehabilitasi. Misalnya ongkos dokter dan biaya sanatorium. 
Sampai benar-benar si kreditur itu pulih kembali. Atau kalau kita ambil 
kecelakaan yang semakin merajalela di jalan raya. Karena kesalahan dan 
kecerobohan , A menabrak B sehingga debitur mesti mengganti kaki yang 
dipotong itu. Bagaimana mengherstel kaki yang sudah dipotong. 
Yang rasional ialah sejumlah ganti rugi kebendaan berupa uang. Ini 
sesuai pula dengan ketentuan pasal 1371 KUHPerdata yang menyatakan : 
cacat atau puntung pada bagian badan / tubuh yang dilakukan dengan 
“sengaja” atau oleh karena “kurang hati-hati”, memberi hak kepada orang 
itu menuntut “bayaran” di luar biaya pengobatan. Dari pasal ini dapat 
ditarik kesimpulan si korban dapat menuntut ganti rugi “kebendaan” atau 
kerugian yang non-ekonomis, yang terdiri dari :
- sejumlah biaya pengobatan ;
- dan sejumlah uang bayaran sesuai dengan keadaan cacat yang diderita.
Mengenai ukuran uang bayaran cacat di luar pengobatan tadi, dinilai atas dasar “kedudukan dan kemampuan” kedua belah pihak.
Akan tetapi tidak 
setiap kerugian ekonomis mesti diganti dengan suatu yang bersifat 
kebendaan yang bernilai uang. Malah kadang-kadang lebih tepat diganti 
dengan hal-hal yang bersifat non-ekonomis pula. Umpamanya “hak 
perseorangan” (persoonlijkerechten) : integritas pribadi, 
kebebasan pribadi, memulihkan nama baik dan sebagainya. Dalam hal ini 
pemulihan atau rehabilitasi hak asasi perseorangan tadi, jauh lebih 
efektif dari pada penilaian ganti rugi uang.
IV. P E N U T U P 
Ganti rugi sebagai 
akibat pelanggaran norma, dapat disebabkan karena wanprestasi yang 
merupakan perikatan bersumber perjanjian dan perbuatan melawan hukum 
yang merupakan perikatan bersumber undang-undang. Ganti rugi sebagai 
akibat wanprestasi yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum 
Perdata, dapat juga diberlakukan bagi ganti rugi sebagai akibat 
perbuatan melawan hukum. Mengingat adanya bentuk kerugian materiil dan 
imateriil, maka wujud ganti rugi dapat berupa natura (sejumlah uang) 
maupun innatura.
SUMBER:
- Andreas Paka 20210739
- Antari Pramono 20210936
- Prasetiyo 25210362
- Tri Prasojo 26210958
- Yanih Supriyani 28210593

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar